Apakah anda sudah melakukan Data Ulang Advokat Peradi (Grand Slipi). Batas waktu Pendaftaran Data Ulang sudah dimulai sejak April 2021 s/d 30 Juni 2021.
JUNAWAN OMPUSUNGGU, SH, MH.
Senin, 14 Juni 2021
Selasa, 02 Oktober 2018
Senin, 31 Maret 2014
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Sultra.
Taman Nasional yang cukup luas, terbentang di antara Kabupaten Konawe Selatan dengan Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, kira-kira 4 jam perjalanan dari Kendari, ibukota Sultra. Konon katanya di Taman Nasional ini banyak Rusa, dan Binatang dilindungi lainnya. Namun sepanjang perjalanan kami, tidak kami temukan binatang dilindungi tersebut. Pergi kemanakan gerangan binatang-binatang tersebut? Tanyaku pada gunung dan hutan disana. Gambar diambil pada tanggal 11 Maret 2014.
Selasa, 25 Februari 2014
JURISPRUDENSI
JURISPRUDENSI MA RI:
1. Putusan MA RI No: 2924 K/Pdt/1991 tangal 28 Maret 1991.
1. Putusan MA RI No: 2924 K/Pdt/1991 tangal 28 Maret 1991.
Lembaga Adat (Jawa) "Ngindung" (Lindung) dimana Pengindung juga memberikan sumbangan sejumlah uang kepada Pemilik Tanah untuk keperluan membayar pajak tanah, maka hubungan hukum antara Pemilik Tanah dengan Pengindung tersebut dapat diartikan sama dengan hubungan hukum "PERJANJIAN SEWA MENYEWA TANAH". Akibat hukumnya pihak pemilik tanah tidak dapat mengusir keluar si Penyewa tanah (Pengindung) dari tanah tersebut.
Menurut hukum adat Jawa, hubungan hukum "Indung" atau Ngindung adalah: seorang pemilik tanah yang mengizinkan orang lain untuk ikut menumpang berdiam ditanahnya (Opwoner), dengan kewajiban moral si penumpang pekarangan itu memberikan bantuan dan sumbangan yang diperlukan oleh si pemilik tanah. Bilamana si pemilik tanah ingin mengakhiri hubungan hukum ini, maka ia secara moral berkewajiban untuk memberikan uang "TUKON TALI" (semacam uang pesangon) kepada si pengindung (penumpang tanah) tersebut. Kata lain adalah Magersari. (Ter Haar, Beginselen en stelsel van het Adat Recht). Ali Budiarto, SH, Kompilasi Abstrak Hukum, 154.
2. Putusan MA RI No: 1523.K/Sip/1982 tanggal 28 Februari 1983.
Dalam suatu gugatan perdata, maka KODAM (Komando Daerah Militer) secara Juridis adalah tidak berwenang untuk menjadi subjek atau partai dalam gugatan perdata tersebut. Mengenai masalah ini, yang berwenang untuk menjadi partai atau pihak adalah Negara RI yang diwakili oleh Menteri Departemen Pertahanan dan Keamanan RI (HANKAM).
Perjanjian yang dibuat oleh Para Pihak (dibawah tangan bukan akta notaris), yang berisikan para pihak saling mengikatkan diri, akan melakukan jual eli tanah sengketa, merupakan suatu perjanjian yang berlakunya seperti Undang-undang bagi para pihaknya. Karena itu bila salah satu pihak ingkar janji, maka pihak lainnya berhak untuk menuntut: 1. Pelaksanaan berlakunya perjanjian tersebut, atau 2. Pembatalan Perjanjian tersebut dengan menerima ganti rugi uang. (Vide pasal 1338 jo 1266 jo 1267 KUHPdt).
mengenai gugatan intervensi, hukum acaranya diatur dalam Rv. (Ali Budiarto, SH, Kompilasi abstrak Hukum, 15).
3. Putusan MA RI No 2217.K/Sip/1982 tanggal 31 Oktober 1983.
Dalam suatu Perjanjian Jual Beli Tanah dengan Hak Membeli Kembali, bilamana pihak penjual dalam batas waktu yang telah diperjanjikan ternyata tidak membeli kembali tanah tersebut, maka beralihnya hak milik atas tanah yang bersangkutan dari tangan penjual kepada pembeli tanah, masih diperlukan adanya "perbuatan hukum" yang bermaksud untuk memindahkan Hak Milik Tanah tersebut yaitu berupa "Jual Beli Tanah" dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ex pasal 19 PP 10 tahun 1961 (Sekarang PP 24 tahun 1997). Selanjutnya, selama perbuatan hukum jual beli dihadapan PPAT tersebut masih belum dilakukan oleh Para Pihak, maka tanah tersebut tetap miliknya Penjual. IAli Budiarto, SH, Kompilasi Abstrak Hukum, 8).
Kamis, 29 November 2012
PERKAWINAN ANTAR AGAMA
Perkawinan Antar Agama
Berdasarkan Putusan MA RI No: 1400.K/PDT/1986
tanggal 20 Januari 1989.
Bahwa berdasarkan UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa perkawinan dilangsungkan berdasarkan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; (pasal 2)
Menurut PP No 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, menentukan:
Pencatatan perkawinan yang beragama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Perkawinan selain yang beragama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.
Bahwa ternyata, pada kenyataannya, di dalam masyarakat masih ada perkawinan yang terjadi antara orang-orang yang berbeda agama, atau disebut perkawinan antar agama (bukan perkawinan campuran sebagaimana diatur dalam pasal 57 s/d 62 UU No 1 tahun 1974);
Untuk melangsungkan perkawinan antar agama, banyak yang melakukan penyeludupan hukum atau melanggar hukum; Bahkan ada yang tidak mau tau dengan aturan hukum yang ada, sehingga bermasalah dalam perjalanan perkawinannya;
Untuk menghindari terjadinya masalah dikemudian hari, sebaiknya memang perkawinan dilakukan sesuai dengan hukum agama masing-masing (kalau masih di Indoensia), namun untuk mengatasi kekosongan hukum tentang adanya perkawinan antar agama di masyarakat Indonesia, Mahkamah Agung telah memberikan dasar hukum dengan dikeluarkannya putusan MA RI, yang telah menjadi jurisprudensi, yaitu putusan MA RI No 1400 K/PDT/1986 tanggal 20 Januari 1989:
Intinya adalah sebagai berikut:
- "Sekalipun Pemohon beragama Islam dan menurut ketentuan pasal 63 ayat 1 huruf a UU No 1 tahun 1974 dinyatakan bahwa apabila diperlukan campur tangan pengadilan, maka hal itu merupakan wewenang dari Pengadilan Agama, namun karena penolakan melaksanakan perkawinan didasarkan pada perbedaan agama, maka jelas dasar penolakan tersebut tidak merupakan larangan untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 8 UU No 1 tahun 1974, dan karena kasus aquo bukan merupakan kasus sebagaimana dimaksud oleh pasal 60 ayat 3 UU No 1 tahun 1974, maka sudahlah tepat apabila kasus aquo menjadi kewenangan Pengadilan Negeri dan bukan Pengadilan Agama. UU No 1 tahun 1974 tidak memuat sesuatu ketentuan apapun yang merupakan larangan perkawinan karena perbedaan agama, hal mana adalah sejalan pasal 27 UUD 1945 yang menentukan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak azasi untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan Agama. Azas ini adalah sejalan dengan jiwa pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing.
- Dengan tidak diaturnya perkawinan antar Agama di dalam UU No 1 tahun 1974 dan di segi lain UU produk kolonial walaupun pengatur perkawinan antara orang-orang yang tunduk kepada hukum yang berlainan namun karena UU tersebut tidak mungkin dapat dipakai karena perbedaan prinsip maupun falsafah yang amat lebar antara UU No 1 tahun 1974, maka menghadapi kasus aquo terdapat kekosongan hukum.
- Disamping adanyan kekosongan hukum, juga dalam kenyataan hidup di Indonesia yang masyarakatnya bersifat pluralistik/heterogen tidak sedikit terjadi perkawinan antar agama, maka Mahkamah Agung RI berpendapat bahwa tidaklah dapat dibenarkan kalau karena kekosongan hukum maka kenyataan dan kebutuhan sosial seperti tersebut di atas dibiarkan tidak terpecahkan secara hukum, karena membiarkan masalah tersebut berlarut-larut pasti akan menimbulkan dampak negatif di segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama berupa penyeludupan-penyeleudupan nilai-nilai sosial maupun agama dan atau hukum positif, maka Mahkamah Agung RI berpendapat haruslah ditemukan dan ditentukan hukumnya.
- Bahwa menurut pasal 2 ayat 1 dan 2 UU No 1 tahun 1974, pegawai pencatat untuk perkawinan menurut agama Islam adalah sebagaimana dimaksud dalam UU No 32 tahun 1954 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, sedangkan bagi mereka yang beragama non-Islam adalah pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil. Dengan demikian bagi pemohon yang beragama Islam dan yang akan melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki beragama Kristen Protestan tidak mungkin melangsungkan perkawinan dihadapan pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagai satu-satunya kemungkinan, sebab diluar itu tidak ada kemungkinan lagi untuk melangsungkan perkawinan;
- Di dalam kasus ini, Pemohon yang beragama Islam telah mengajukan permohonan untuk melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang beragama Kristen Protestan kepada Kantor Catatan Sipil di Jakarta, harus ditafsirkan bahwa Pemohon berkehendak untuk melangsungkan perkawinan yang mereka kehendaki.
- Dalam hal yang demikian, seharusnya Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untk melangsungkan perkawinan yang kedua calon suami-istri tidak beragama Islam wajib menerima permohonan Pemohon". (Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara Dalam Yurisprudensi MA RI tahun 1969 - 2008, MA RI 2010, halaman 104 - 107).
- Di dalam kasus ini, Pemohon yang beragama Islam telah mengajukan permohonan untuk melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang beragama Kristen Protestan kepada Kantor Catatan Sipil di Jakarta, harus ditafsirkan bahwa Pemohon berkehendak untuk melangsungkan perkawinan yang mereka kehendaki.
- Dalam hal yang demikian, seharusnya Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untk melangsungkan perkawinan yang kedua calon suami-istri tidak beragama Islam wajib menerima permohonan Pemohon". (Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara Dalam Yurisprudensi MA RI tahun 1969 - 2008, MA RI 2010, halaman 104 - 107).
Bahwa berdasarkan jurisprudensi tersebut, maka perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan mendaftarkan perkawinan tersebut di Kantor Catatan Sipil untuk melangsungkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil; (Salam, junawan.ompusunggu@gmail.com);
Minggu, 28 Oktober 2012
Jurisprudensi MA RI
1. Putusan MA RI No: 1194 K/Sip/1975 tanggal 14 Pebruari 1980;
Hak atas warisan tidak hilang akibat lampaunya waktu. (Hak untuk menggugat atas harta warisan masih
terbuka dan tidak tunduk pada daluwarsa).
2. Putusan MA RI No: 542 K/Sip/1972 tanggal 15 September 1976.
Dalam hal perkawinan tidak ada anak, maka harta warisan setengah bagian untuk janda dan yang setengah bagian untuk keluarga suami atau seluruhnya dapat dinikmati janda selama hidupnya janda tersebut dan selama janda tersebut tidak kawin lagi.
3. Putusan MA RI No: 313 K/Sip/1976 tanggal 2 Nopember 1976.
Dalam hal warisan, hukum yang hidup di Ambon adalah hukum Adat dan bukan hukum Islam.
4. Putusan MA RI No: 157 K/Sip/1975 tanggal 18 September 1976.
Hak Penggugat untuk menggugat tanahnya yang sudah lama dikuasai oleh Tergugat tidak terkena daluwarsa. (Gugatan terhadap tanah yang dikuasai oleh orang lain meskipun sudah lama sekali, tidak terkena lewat waktu).
5. Putusan MA RI No: 476 K/Sip/1974 tanggal 14 Nopember 1974.
Sita Jaminan (Conservatoir Beslaag) tidak dapat dilakukan terhadap barang milik pihak ketiga.
6. Putusan MA RI No: 952 K/Sip/1974 tanggal
Jual beli adalah Sah apabila telah memenuhi syrat-syarat dalam KUHPerdata atau Hukum Adat, ic: jual beli dilakukan menurut hukum adat, secara riil dan kontan, dan diketahui oleh Kepala Kampung. Syarat-syarat dalam pasal 19 PP No 10 tahun 1961 tidak menyampingkan syarat-syarat untuk jual beli dalam KUHPerdata/Hukum Adat, melainkan hanya merupakan syarat bagi penjabat Agraria.
7. Putusan MA RI No: 810 K/Sip/1970 tanggal 6 Maret 1971.
Ketentuan dalam pasal 7 ayat 1 PERPPU No 56 tahun 1960 yang menentukan "bahwa GADAI TANAH PERTANIAN YANG TELAH BERLANGSUNG 7 TAHUN ATAU LEBIH HARUS DIKEMBALIKAN KEPADA PEMILIKNYA TANPA PEMBAYARAN" adalah BERSIFAT MEMAKSA dan TIDAK DAPAT DILUNAKKAN hanya karena telah diperjanjikan antara kedua belah pihak yang bersangkutan.
Langganan:
Postingan (Atom)