Halaman

Minggu, 10 Juni 2012

JURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG RI

YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG RI :

PERDATA:

1. Putusan MA RI No 2810 K/PDT/1989 tgl 20 April 1993;

Menurut hukum Indonesia Keppres No 59 tahun 1972 jo SK Direksi BI No 6/77/BI/DIR/Biro/74 serta Surat Edaran BI No: 7/3/UPPB tgl 21 Juni 1974, telah ditentukan bahwa setiap Pemberian Fasilitas Kredit oleh BANK ASING diluar negeri (Off Shore Loan) kepada Debitur Indonesia, maka ada kewajiban untuk mendaftarkan off shore loan tersebut kepada Pemerintah RI cq Bank Indonesia;

Walaupun kewajiban itu hanya bersifat administratif yang tidak membatalkan "Perjanjian Kredit itu sendiri" , namun bila kewajiban tersebut (mendaftarkan off shore loan tsb) tidak dipenuhi, maka akibat hukumnya adalah bahwa pemberian fasilitas kredit off shore loan tersebut menjadi belum mempunyai kekuatan hukum yang mengikat di Indonesia cq terhadap para Debitur Indonesia;

Konsekwensi Juridisnya, gugatan Kreditur Luar Negeri untuk menagih pembayaran hutangnya si Debitur, oleh Mahkamah Agung RI dinyatakan Tidak Dapat Diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard);

2. Putusan MA RI No: 411 K/PDT/1991 tgl 26 September 1992;

Akta Pengakuan Hutang yang timbulnya berdasarkan atas adanya "Credit Agreement" yang ditandatangani hanya oleh Direktur Umum, namun sebelumnya telah mendapat persetujuan dari Presiden Direktur dan Komisaris PT (P), hal tersebut telah memenuhi persyaratan dalam pasal 12 ayat 2 jo pasal 27 AD PT (P) tersebut, sehingga adanya Akta Pengakuan Hutang berupa Groose Akta Otentik tersebut, telah membuktikan adanya Fakta bahwa PT (P) sebagai Badan Hukum telah mempunyai hutang kepada Kreditur, The Bank of (T). 
Oleh Karena Presiden Direktur PT (P) yaitu DJP secara pribadi serta PT KTB telah bertindak sebagai "Penjamin" dengan melepaskan haknya yang ditentukan dalam Undang-Undang, maka secara Yuridis, mereka bertiga: Para Tergugat: 1. PT (P), 2. DJP, dan 3. PT KTB, secara tanggung renteng berkewajiban membayar hutangnya PT (P) kepada Kreditur The Bank of (T); (Varia Peradilan XV No 180, Sep 2000).

3. Putusan MA RI No: 586 K/PDT/2000 tgl 23 Mei 2001;

Bilamana terdapat perbedaan luas dan batas-batas tanah sengketa dalam posita dan petitum, maka petitum tidak mendukung posita karena itu gugatan dinyatakan tidak dapat diterima sebab tidak jelas dan kabur;

4. Putusan MA RI No: 1354 K/PDT/2000 tanggal 8 September 2003;

Suami istri yang telah pisah tempat tinggal selama 4 tahun dan tidak saling memperdulikan lagi sudah merupakan fakta adanya perselisihan dan pertengkaran sehingga tidak ada harapan untuk hidup rukun dalam rumah tangga, dengan demikian sudah dapat dijadikan alasan untuk mengabulkan gugatan perceraian.

5. Putusan MA RI No: 698 PK/PDT/2001 tanggal 27 Februari 2003;

Secara Yuridis Tetanggung mempunyai kewajiban untuk memberitahukan keadaan yang sebenarnya dari Kapal yang akan diasuransikan, jika ternyata ada yang disembunyikan sewaktu Penutupan Polis Asuransi, maka Perjanjian Asuransi Batal Demi Hukum;

(Catatan Penulis: Maka.... hati-hati dalam menutup polis asuransi, pastikan data yg diberikan adalah benar, karena akan menjadi masalah ketika anda akan melakukan klaim nilai pertanggungan);

6. Putusan MA RI No: 252 K/PDT/2002 tanggal 11 Juni 2004;

Pemenang Lelang dinyatakan "tidak beritikad baik" dan "tidak mendapat perlindungan hukum" jika pemenang lelang ternyata adalah Kreditur sendiri yang membeli dengan harga jauh lebih rendah dari agunan;

Jual Beli Tanah jika tidak diikuti dengan penyerahan tanah dan uang penjualan dipakai untuk membayar hutang kepada pembeli selisihnya sangat besar, jumlah tersebut direkayasa dan dinyatakan cacad hukum;

7. Putusan MA RI No: 1506 K/PDT/2002 tanggal 23 September 2004;

Purcahse Order (PO) yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak yang mengikatkan diri merupakan kesepakatan sehingga berlaku sebagai Undang-undang yang mengikat kedua belah pihak;

8. Putusan M RI No: 3574 K/PDT/2000 tanggal 5 September 2002;

Tanggungjawab ahli waris terhadap hutang si Pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalan (Pasal 175 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam);

Terhadap harta bawaan dari istri tidak dapat disita sebagai jaminan atas hutang almarhum suaminya sebab bukan merupakan harta peninggalan almarhum suaminya;

9. Putusan MA RI No: 1974 K/PDT/2001 tanggal 29 September 2003;

Peralihan hak atas tanah dinyatakan cacad hukum karena pemalsuan tanda tangan sehingga Batal Demi Hukum Jual Beli Tanah harus dibuktikan melalui pemeriksaan dari Laboratorium Kriminologi ata ada putusan pidana yang menyatakan tanda tangan dipalsukan;

10. Putusan MA RI No: 2691 K/PDT/1996 tanggal 18 September 1998;

Perjanjian Permulaan yaitu perjanjian lisan yang masih harus ditindak lanjuti oleh pihak-pihak di depan Notaris, tidak memiliki akibat hukum bagi para pihak; Pasal 36 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan;

Dalam ketentuan pasal 36 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan; 
Karena Perjanjian Permulaan (Voorovereenkomst) belum mendapat persetujuan suami / istri, maka perjanjian tersebut tidak sah menurut hukum;

11. Putusan MA RI No: 792 K/PDT/2002 tanggal 3 Januari 2003;

Perjanjian Perdamaian yang disepakati oleh Kedua Belah Pihak, tanpa ada paksaan dan para pihak cakap untuk membuat perjanjian, meski salah satu pihak dalam status penahan, perjanjian tersebut adalah SAH;

12. Putusan MA RI No: 753 K/PDT/2000 tanggal 15 Agustus 2002;

Pemberian Sawah oleh Ayah dan Ibu kepada anaknya Perempuan yang baru kawin sebagai Bekal Hidupnya yang disaksikan oleh Pengetua Adat, Pemberian tersebut (Iddahan Arian) dibenarkan dalam hukum Adat Batak;



TATA USAHA NEGARA

1. Putusan MA RI No: 498 K/TUN/2007 tanggal 26 September 2008;

Bahwa sengketa dalam kasus ini pada dasarnya mengenai penerbitan Surat Direktur Jenderal aquo (objek gugatan) yang tidak memperhatikan dan tidak mempertimbangkan adanya 2 surat Pejabat Tata Usaha Negara yang sudah ada terlebih dahulu, yaitu 1. Surat Menteri Keuangan RI Nomor: S-195/MK.03.2003 tanggal 14 Mei 2003 dan 2. Surat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomr: 105/MENKO/11/2001 tanggal 26 Desember 2001. Bahwa dengan demikian, sengketa dalam kasus ini bukan mengenai persyaratan-persyaratan atau klausula-klausula dan isi suatu suatu perjanjian in casu Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara tanggal 12 Nopember 1985 (PKP2B) sehingga seolah-olah merupakan kasus perdata. 

Bahwa ditinjau dari segi Hukum Tata Usaha Negara, kalau kedua surat aquo benar-benar dipertimbangkan dan diperhatikan oleh Tergugat sebelum menerbitkan suratnya (objek gugatan ini) maka keputusannya akan berbunyi lain dan akan dapat menciptakan kepastian hukum bagi Penggugat selaku Warga Negara dan Pelaku PKP2B, sehingga tindakan Tergugat tidak akan dikwalifisir sebagai bersifat sewenang-wenang dan tidak melanggar Azas Kepastian Hukum, sebagai salah satu azas dalam Azas-azas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB).

Bahwa sengketa Tata Usaha Negara tersebut dalam kasus ini dapat muncul disebabkan karena tidak adanya/belum terdapatnya mekanisme aturan hukum yang baku, yaitu yang mengatur tentang tata cara atau mekanisme penggantian (Reimbursment) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) oleh dan antara instansi-instansi pemerintah yang terkait, sebagaimana yang sudah diamanatkan dalam Surat Menteri Keuangan dan Surat Menko Perekonomian aquo.

Bahwa dengan demikian dalam kasus ini, sesungguhnya harus ada proses pembuatan pengaturan yang terlebih dahulu diterbitkan oleh instansi-instansi pemerintah yang terkait duduk bersama mengaturnya, sebelum Tergugat sekarang dapat melakukan tindakan peringatan seperti yang tercantum dalam objek gugatan perkara ini. 

Bahwa demi kepastian hukum bagi para Pihak pelaku PKP2B aqu dan juga akan meningkatnya iklim investasi, maka instansi-instansi pihak Tergugat harus terlebih dahulu melakukan rangkaian tindakan yang menghasilkan aturan /mekanisme sebagaimana yang diamanatkan oleh Pemerintah dalam kedua surat Menkeu dan Kenko Perekonomian tersebut, yang sampai sekarang ternyata belum ada. Kemudian setelah itu ada, barulah Tergugat mempunyai dasar untuk menerbitkan keputusan seperti yang dituangkan surat yang menjadi objek gugatan sekarang apabila yang dituangkan dalam surat yang menjadi objek gugatan sekarang apabila ternyata Penggugat melanggarnya.
Karenanya jelas bahwa sengketa yang demikian tersebut dalam perkara ini antara Penggugat dan Tergugat merupakan sengketa Tata Usaha Negara, sebab berkaitan dengan tindakan atau proses penerbitan surat keputusan yang prematur dan mengandung cacat yuridis yang bersifat procedural;

2. Putusan MA RI No: 161 K/TUN/1996 tanggal 6 Maret 1998.

Surat Keputusan BUMN, PT Barata Indonesia, tentang Pemberhentian dengan tidak hormat atas seorang pegawainya, yang diterbitkan dan ditanda tangani oleh Direktur Utama yang lama yang menunggu berlangsungnya serah terima jabatan dengan penggantinya Direktur Utama yg baru (SK Menkeu No 387/KMK.016/1995 tgl 5 Agustus 1994), maka surat keputusan tersebut adalah Batal Demi Hukum, karena adanya ketentuan dalam Surat BPIS yang melarang Direktur Utama yang lama menandatangani surat-surat /hal-hal yang penting atas nama perusahaan ata hendaknya dilakukan oleh dua orang Direktur yang masih menjabat (tidak diganti).
Surat Keputusan (objek sengketa) adalah batal demi hukum, karena Direktur Utama yang lama akan diganti oleh Direktur Utama yang baru/tidak mempunyai kewenangan lagi untuk menerbitkan dan menanda tangani surat-surat/hal-hal yang penting atas nama perusahaan. (Varia Peradilan, September 2000);



  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar