Halaman

Kamis, 29 November 2012

PERKAWINAN ANTAR AGAMA


Perkawinan Antar Agama
Berdasarkan Putusan MA RI No: 1400.K/PDT/1986 
tanggal 20 Januari 1989.


Bahwa berdasarkan UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa perkawinan dilangsungkan berdasarkan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; (pasal 2)

Menurut PP No 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, menentukan:
Pencatatan perkawinan yang beragama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

Perkawinan selain yang beragama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

Bahwa ternyata, pada kenyataannya, di dalam masyarakat masih ada perkawinan yang terjadi antara orang-orang yang berbeda agama, atau disebut perkawinan antar agama (bukan perkawinan campuran sebagaimana diatur dalam pasal 57 s/d 62 UU No 1 tahun 1974);

Untuk melangsungkan perkawinan antar agama, banyak yang melakukan penyeludupan hukum atau melanggar hukum; Bahkan ada yang tidak mau tau dengan aturan hukum yang ada, sehingga bermasalah dalam perjalanan perkawinannya;

Untuk menghindari terjadinya masalah dikemudian hari, sebaiknya memang perkawinan dilakukan sesuai dengan hukum agama masing-masing (kalau masih di Indoensia), namun untuk mengatasi kekosongan hukum tentang adanya perkawinan antar agama di masyarakat Indonesia, Mahkamah Agung telah memberikan dasar hukum dengan dikeluarkannya putusan MA RI, yang telah menjadi jurisprudensi, yaitu putusan MA RI No 1400 K/PDT/1986 tanggal 20 Januari 1989:

Intinya adalah sebagai berikut:

- "Sekalipun Pemohon beragama Islam dan menurut  ketentuan pasal 63 ayat 1 huruf a UU No 1 tahun 1974 dinyatakan bahwa apabila diperlukan campur tangan pengadilan, maka hal itu merupakan wewenang dari Pengadilan Agama, namun karena penolakan melaksanakan perkawinan didasarkan pada perbedaan agama, maka jelas dasar penolakan tersebut tidak merupakan larangan untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 8 UU No 1 tahun 1974, dan karena kasus aquo bukan merupakan kasus sebagaimana dimaksud oleh pasal 60 ayat 3 UU No 1 tahun 1974, maka sudahlah tepat apabila kasus aquo menjadi kewenangan Pengadilan Negeri dan bukan Pengadilan Agama. UU No 1 tahun 1974 tidak memuat sesuatu ketentuan apapun yang merupakan larangan perkawinan karena perbedaan agama, hal mana adalah sejalan pasal 27 UUD 1945 yang menentukan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak azasi untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan Agama. Azas ini adalah sejalan dengan jiwa pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing.

- Dengan tidak diaturnya perkawinan antar Agama di dalam UU No 1 tahun 1974 dan di segi lain UU produk kolonial walaupun pengatur perkawinan antara orang-orang yang tunduk kepada hukum yang berlainan namun karena UU tersebut tidak mungkin dapat dipakai karena perbedaan prinsip maupun falsafah yang amat lebar antara UU No 1 tahun 1974, maka menghadapi kasus aquo terdapat kekosongan hukum.

- Disamping adanyan kekosongan hukum, juga dalam kenyataan hidup di Indonesia yang masyarakatnya bersifat pluralistik/heterogen tidak sedikit terjadi perkawinan antar agama, maka Mahkamah Agung RI berpendapat bahwa tidaklah dapat dibenarkan kalau karena kekosongan hukum maka kenyataan dan kebutuhan sosial seperti tersebut di atas dibiarkan tidak terpecahkan secara hukum, karena membiarkan masalah tersebut berlarut-larut pasti akan menimbulkan dampak negatif di segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama berupa penyeludupan-penyeleudupan nilai-nilai sosial maupun agama dan atau hukum positif, maka Mahkamah Agung RI berpendapat haruslah ditemukan dan ditentukan hukumnya.

- Bahwa menurut pasal 2 ayat 1 dan 2 UU No 1 tahun 1974, pegawai pencatat untuk perkawinan menurut agama Islam adalah sebagaimana dimaksud dalam UU No 32 tahun 1954 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, sedangkan bagi mereka yang beragama non-Islam adalah pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil. Dengan demikian bagi pemohon yang beragama Islam dan yang akan melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki beragama Kristen Protestan tidak mungkin melangsungkan perkawinan dihadapan pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagai satu-satunya kemungkinan, sebab diluar itu tidak ada kemungkinan lagi untuk melangsungkan perkawinan;

- Di dalam kasus ini, Pemohon yang beragama Islam telah mengajukan permohonan untuk melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang beragama Kristen Protestan kepada Kantor Catatan Sipil di Jakarta, harus ditafsirkan bahwa Pemohon berkehendak untuk melangsungkan perkawinan yang mereka kehendaki.

- Dalam hal yang demikian, seharusnya Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untk melangsungkan perkawinan yang kedua calon suami-istri tidak beragama Islam wajib menerima permohonan Pemohon". (Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara Dalam Yurisprudensi MA RI tahun 1969 - 2008, MA RI 2010, halaman 104 - 107).

Bahwa berdasarkan jurisprudensi tersebut, maka perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan mendaftarkan perkawinan tersebut di Kantor Catatan Sipil untuk melangsungkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil; (Salam, junawan.ompusunggu@gmail.com);